Minggu, 02 September 2018

Aspek-Aspek Religi Jawa pada Serat Suluk Kyai Besi



Abstrak
            Penulisan ini menggunakan naskah berjudul Suluk Kyai Besi sebagai objek penelitian. Naskah tersebut merupakan koleksi perpustakaan Universitas Indonesia. Penulisan ini merupakan syarat untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah religi Jawa. Bahasan pada penulisan ini terkait dengan analisis aspek-aspek religi Jawa yang terdapat pada serat Suluk Kyai Besi. Serat tersebut dituliskan dalam bentuk macapat yang terdiri dari sembilan pupuh yaitu I. Dhandhanggula, II. Sinom, III. Maskumambang, IV. Dhandhanggula, V. Sinom, VI. Maskumambang, VII. Sinom, VIII. Mijil, IX. Kinanthi. Beberapa pupuh tersebut berisi tentang aspek religi antara lain laku, sangkan paran, sasmita, manunggal, dan ngelmu. Dari penjabran tersebut ditemukan rumusan masalah yaitu bagaimana aspek-aspek religi yang dijalankan dalam naskah Suluk Kyai Besi yang dianalisis berdasarkan tokoh pada cerita. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan bagaimana aspek religi yang  yang dijalankan berdasarkan analisis tokoh yang terdapat pada naskah Kyai Suluk Besi. Adapun metode penulisan ini menggunakan metode analisis deskriptif.

Kata kunci: laku, ngelmu,religi Jawa, sangkan paran, suluk.


Pendahuluan
Budaya merupakan suatu cara yang dijalankan oleh sekelompok masyarkat untuk perkembangan kehidupannya. Menurut Koentjaraningrat (1984) kebudayaan merupakan keseluruhan sautu sistem gagasan, tindakan, serta hasil karya manusia dalam kehidupan. Beliau juga membagi 7 unsur kebudayaan yaitu bahasa, sistem pengetahuan, sistem kemasyarkatan atau organisasi sosial, sistem teknologi atau peralatan hidup, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi, dan sistem kesenian. Salah satu unsur kebudayaan yang disebutkan yaitu religi. Menurut etimologi, religi berasal dari akta ‘re’ yang berarti kembali dan ‘lagore’ yang berarti mempersatukan. Jika dijabarkan religi yaitu proses mempersatukan kembali jiwa manusia dengan Tuhan.
Jika berbicara tentang religi, masyarakat Jawa merupakan salah satu masyarakat yang masih kental akan penerapan religinya. Mereka menerapkan konsep religi tersebut dalam laku yang dijalankan dalam kehidupan sehari-hari. Laku dijalankan atas dasar kesadaran dan niat yang sungguh-sungguh guna menyeimbangkan kehidupan untuk mencapai kesempurnaan hidup. Untuk mengetahui bagaimana masyarkat Jawa menereapkan religi pada zaman dahulu dapat dilihat dari naskah.
Naskah merupakan suatu media masyarakat dulu untuk menuliskan karya. Karya-karya tersebut dapat mengandung ajaran moral, sejarah, informasi-informasi yangada pada zaman tersebut, maupun keagamaan. Naskah dikelompokkan menjadi beberapa golongan di antaranya naskah golongan religi dan etika, naskah-naskakh yang mengandung unsur-unsur keagamaan, ramalan, suluk, mauoun piwulang, naskah yang berisi sejarah dan mitologi, dan naskah berisi hukum, folklor, kesenian, dan kemanusiaan.
Berkaitan dengan naskah golongan religi, penulisan ini menggunakan objek penelitian naskah yang berjudul Suluk Kyai Besi koleksi perpustakaan Universitas Indonesia. Naskah ini telah digunakan sebagai objek penelitian filologi oleh Agustina tahun 1994 dengan judul Suntingan Teks Serat Suluk Kyai BesI No. 126 dan Analisis Ajaran Mistik Kejawen. Pada penelitian tersebut hanya terdapat suntingan dan ringkasan mengenai isi naskah, namun belom ada penggarapan analisis khusus mengenai konsep religi yang dijalankan terkait masyarakat Jawa. Naskah Suluk Kyai Besi memuat beberapa aspek-aspek religi diantaranya yaitu konsep laku, sangkan paran, sasmita, manunggal, dan ngelmu.
Berdasarkan urain di atas ditemukan rumusan masalah yaitu bagaimana aspek-aspek religi yang dijalankan dalam naskah Suluk Kyai Besi yang dianalisis berdasarkan tokoh pada cerita. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan bagaimana aspek religi yang  yang dijalankan berdasarkan analisis tokoh yang terdapat pada naskah Kyai Suluk Besi. Adapun metode penulisan ini menggunakan metode analisis deskriptif. Metode analisis deskriptif dimulai dengan mencari dan menemukan fakta-fakta yang terdapat dalam objek penelitian dan kemudian dilakukan analisis (Ratna, 2004). Metode deskriptif melakukan deskripsi data dan berbagai hal yang terkandung di dalam objek penelitian dan kemudian menginterpretasikannya secara rasional.

Pembahasan
Dalam serat Suluk Kyai Besi ini terdapat beberapa peristiwa yang dapat digunakan sebagai data untuk menganalisis aspek-aspek religi Jawa. Aspek yang terkandung dalam serat Suluk Kyai Besi antara lain adalah laku, sangkan paran, sasmita, manunggal, dan ngelmu.
Aspek pertama adalah laku. Laku yang dijalankan pada peristiwa ini adalah laku tapa. Bagi masyarakat Jawa, tapa merupakan sarana jalan hidup untuk menggapai anugrah Tuhan yang disebut wahyu. Bertapa yakni berusaha untuk menjauhkan dan mengendalikan diri dari nafsu-nafsu yang dapat berpengaruh negatif dalam diri manusia. Bertapapun sangat bermacam-macam caranya, misalnya tapa bisu, tapa untuk tidak makan dan minum atau disebut berpuasa, tapa ditempat yang sepi tidak terjamah orang untuk meningkatkan fokus tujuan, dan masih banyak lagi cara bertapa. Manusia melakukan tapa untuk mencapai sesuatu yang dituju atau yang diinginkan. Segala bentuk tapa yang dilakukan semata-mata bertujuan untuk kesempurnaan batin. Pada Serat Suluk Kyai Besi diceritakan melalui tokoh bernama Ki Besi yang sedang melakukan laku tapa. Penjelasan tersebut dapat dilihat pada pupuh 1 Dandanggula yang terdiri dari 10 bait yang kemudian diringkas sebagai berikut.
Alkisah ada seorang pertapa bernama Kyai Besi. Ia sangat menahan hati, menahan diri dari nafsu-nafsunya. Ia sedang bertapa dengan hanya duduk di tepi sebuah samudra, berdiam di lereng dan berlindung ditepi jurang dan hanya ditemani hidangan arak serta gelas disekitarnya. Ia tidak makan, melainkan hanya minum arak setiap harinya. Hal tersebut dilakukan karena perintah gurunya yang hanya membolehkan minum arak untuk bertapa. Ia menjalankan tapa tersebut dengan bersungguh-sungguh mengikuti perintah gurunya.
Ringkasan pupuh Dhandhanggula pada Serat Suluk Kyai Besi di atas menggambarkan bahwa Ki Besi sedang menjalankan tapa. Dia hanya meminum arak tanpa memakan apapun, hal tersebut dilakukan atas perintah gurunya dan ia melakukannya dengan bersungguh-sungguh. Hal tersebut juga menunjukkan laku syariat, di mana pengertian dari laku syariat yaitu manusia harus melakukan segala hal yang diperintahkan dan meninggalkan hal-hal yang dilarang oleh Tuhan. Pada tataran syariat manusia hendak menghormati dan hidup seseuai dengan hukum agama, menjalankan kewajibannya dengan sungguh-sungguh, menghargai dan menghormati orang tua, guru pemimpin, raja supaya terjalin keseimbangan kehidupannya. Dengan manusia menghormati orang tua, guru, pemimpin, dan raja berarti manusia menghormati Tuhannya. Manusia dalam melakukan perintah Tuhan harus dengan bersungguh-sungguh tidak boleh setengah-setengah.
Aspek religi selanjutnya yaitu Sangkan Paraning Dumadi. Konsep tersebut sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Jawa. Filosofi Sangkan Paraning Dumadi menumbuhkan kesadaran kita sebagai manusia dari mana kita berasa dan ke mana nantinya kita akan hidup kekal. Dengan memahami konsep tersebut, apapun yang diperoleh manusia merupakan pemberian Tuhan, asalnya dari Tuhan. Sebagai seorang manusia tidka boleh sombong akan hal yang telah diperolehnya akrena itu semata-mata hanya sebuah titipan dari Tuhan, manusia hanya berusaha sesuai dengan kemampuannya. Pada Serat Suluk Kyai Besi terapat suatu peristiwa yang menggambarkan konsep Sangkan Paraning Dumadi. Konsep tersebut dapat dilihat dari tokoh Ki Ketib, namun pemaknaan tentang sangkan paran tersebut bergeser. Peristiwa tersebut terdapat pada pupuh IV Dhandanggula yang terdiri dari 41 bait.
Menurut Ki Ketib (adik pengulu) untuk mendapatkan kemurahan Tuhan harus disertai ikhtiar. Kemudian orang tua berkata, bahwa yang dinamakan kemurahan Tuhan itu akan datang dengan sendirinya. Setelah orang tua itu berkata demikian, Ki Ketib ingin membuktikan adanya kemurahan Tuhan. Dia sejenak berhenti di tempat tersebut. Kemudian ada saudagar yang membawa dagangan dengan mengendarai sapi. Sapi tersebut tiba-tiba memberontak loncat-loncat sehingga barang dagangan saudagar tersebut jatuh berceceran. Melihat kejadian itu, Ki Ketib menganggapnya sebagai kemurahan Tuhan, lalu ia berniat akan mengambil barang-barang yang berceceran tersebut tetapi ia ingat bahwa kemurahan Tuhan itu datang dengan sendirinya bukan dengan ikhtiar. Ia berfikir bahwa mengambil adalah salah satu bentuk tindakan ikhtiar, sehingga kejadian tersebut belum belum dikatakan sebagai bentuk kemurahan Tuhan.
Peristiwa di atas menggambarkan bahwa Ki Ketib mempercayai adanya kemurahan Tuhan, dan itu datangnya dari Tuhan. Hal tersebut adalah gambaran dari konsep Sangkan Paraning Dumadi, di mana segala hal yang  didapatkan manusia berasal dari Tuhan. Namun penafsiran yang diberikan oleh orang tua itu menjadi salah oleh Ki Ketib. Ki Ketib hanya menunggu makanan tersebut datang kepadanya dengan sendirinya tanpa ia harus berusaha untuk mengambil dengan berjalan atau dengan usahanya. Ada benarnya memang Ki Ketib memahami tentang sangkan paran, namun ia tidak menyadari bahwa untuk mendapatkan sesuatu dari Tuhan hendaknya dengan usaha atau ikhtiar.
Aspek religi selanjutnya yang terdapat pada Serat Suluk Kyai Besi yaitu mengenai sasmita. Sasmita merupakan sistem nilai budaya Jawa yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Jawa. Manusia memperoleh sasmita dari Tuhan dalam berbagai bentuk antara lain weca, wisik, dan wangsit. Weca ialah tanda-tanda yang diberikan Tuhan kepada manusia terpilih berupa suara ghaib di balik suatu benda. Kemudian wisik yaitu tanda-tanda yang diberikan Tuhan kepada manusia terpilih melalui bisikan. Sedangkan wangsit ialah tanda-tanda yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia terpilih melalui sebuah mimpi. Sasmita diberikan kepada manusai yang terpilih, dalam artian ketika manusai tersebut telah melakukan laku atau tirakat dengan sungguh-sungguh dan pener. Fungsi diturunkannya sasmita kepada manusia yaitu agar tanda-tanda tersebut dapat dimengerti sebagai petunjuk Tuhan dan dijalankan sebagaimana mestinya untuk mencapai keseimbangan hidup. Sasmita yang terdapat pada Serat Suluk Kyai Besi dapat ditunjukkan pada pupuh VI Maskumambang dengan ringkasan peristiwa berikut.
 Tiba-tiba Ki Pangulu mendapat bisikan berupa wejangan dari Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Ampel Gading, dan Sunan Geseng. Bisikan para sunan tersebut berupa ajaran, yang isinya tentang bagaimana batasan ilmu sejati yaitu bahwa sebutan Allah adalah zat Allah, barang siapa yang berhenti menyebut atau memuja Allah hendaknya diberikan hukuman. Allah itu esa, tidak ada Tuhan yang dua. Setelah mendapatkan bisikan yang berupa wejangan dari para Sunan tersebut, Ki Pangulu merasa hatinya semakin tenang, damai,dan nyaman.
Peristiwa tersebut menjelaskan bahwa Ki Pangulu mendapat sasmita berupa wisik yang berisi wejangan atau petuah dari Sunan Bonang, Sunan Ampel Gading, dan Sunan Geseng. Bisikan yang diperoleh Ki Pangulu tersebut berupa ajaran, yang kemudian menjadi darma atau tanggung jawab Ki Pangulu untuk menerapkan bahkan menyebarkan ajaran tersebut guna mencapai keseimbangan hidup.
Peristiwa selanjutnya menggambarkan tentang ngelmu. Ngelmu merupakan kesadaran dan pemahaman manusia tentang kehidupannya dalam hubungannya dengan manusia yang lain, alam, dan Tuhan. Orientasi pencapaian ngelmu  atau pengetahuan tentang kehidupan berlandaskan pada daya-daya batin berupa rohani dan rasa serta kesadaran akan jalan ketuhanan. Ngelmu akan menghasilkan sebuah pengetahuan tentang kehidupan. Wadah yang diperlukan dalam hal pencapaian pengetahuan tentang kehidupan tersebut adalah kalbu atau hati. Kalbu dilatih secara terus-menerus agar menjadi cerdas dan tanggap dalam memahami tanda-tanda atau sasmita di dalam kehidupan manusia. Proses pencapaian pengetahuan tentang kehidupan tersebut di awali dengan niat yang sungguh-sungguh, dijalankan dengan kesadaran yang mendalam. Peristiwa yang ditunjukkan dalam Serat Suluk Kyai Besi mengenai ngelmu terdapat pada  pupuh II Sinom dan pupuh VII Sinom.
Pupuh II Sinom:
Ki Ketib yang sedang mencari kakaknya karena tidak pulang selama beberapa hari kemudian menemuinya di tempat pertapaan. Ia melihat juga Ki Besi dan kakaknya sedang berbincang. Ki Ketib menanyakan banyak hal mengapa kakaknya tidk pulang dan memilih tinggal di tempat pertapaan itu. Kemudian Ki Pangulu menjelaskan bahwa ia sedang berguru dengan Ki Besi. Ki Besi mengajarkan banyak hal tentang kehidupan guna kesempuranaan hidup.mKemudian Ki Ketib melontarkan pertanyaan-pertanyaan kepad Ki Besi dan Ki Besi dapat menjawabnya. Ki Ketib masih belum puas dengan jawaban Ki Besi yang kemudian berujung perdebatan. Sementara it Ki Pangulu memperingatkan adiknya untuk berhenti berdebat dan menyarankannya untuk ikut berguru juga kepada Ki Besi.
Pupuh VII Sinom:
Ki Pangulu menghadap Ki Besi di tengah laut. Ia terus menerus menanyakan tentang ngelmu kepada Ki Besi. Pertanaan yang dilontarkan antara lain, “Pulau apa ini di tengah laut?”, “Mengapa samudera agung ketika pasang airnya melimpah?”, “Aapakah dalam jasad sama dengan isi jagad?”. Pertanyaan yang dilontarkan oleh Ki Pangulu dijawab dengan jelas oleh Ki Besi. Kyai Besi juga menjelaskan beberapa hal terkait dengan kehidupan sangkan paran. Ia menjelaskan kepada Ki Pangulu demikian.
Hanya dengan sarana pencarian ke dalam dirinya sendiri, manusia akan mengetahui kenyataan dirinya dan mengetahui bahwa dirinya itu tidak hanya sama keadaannya dengan benda lainnya yang ada di dunia, tetapi juga sama dengan keadaan wujud kodrat dunia yaitu kodrat pergerakan. Hanya ada satu cara yang dapat dilakukan dengan sungguh-sungguh dalam pencarian, yaitu diriku sendiri. Kalau hal itu sudah dimengerti dengan sungguh-sungguh, manusia baru dapat mengetahui kodrat dunia. Nah, itulah awal aku akan memulai perincian wujud manusia dan lama kelamaan aku akan menuntun engkau sampai pada tempat suci, yang bertempat di dalam hati setiap orang.
Aspek berikutnya yaitu tentang manunggaling kawula Gusti. Kemanunggalan dapat dikatakan sebagai perkawinan antara jasad dan roh, antara hamba dengan Tuhannya. Keadaan manunggal merupakan tujuan utama bagi pribadi manusia yang mengupayakan kehidupan ini menjadi tentram dan sempurna. Untuk mencapai kemanunggalan juga disertai usaha-usaha laku syariat, tarekat, hakekat, dan makrifat. Aspek manunggaling kawula Gusti dapat ditunjukkan pada peristiwa berikut.
Ketika Ki Besi menjawab pertanyan yang dilontarkan Ki Ketib, di situ ia menjelaskan bagaimana sesungguhnya kehidupan dan tujuan manusia. Ia bercerita bagaimana bisa dirinya menjadi sakti, mempunyai kelebihan. Semua yang dilakukan diawali dengan niat yang serius, dilandnasi kesadaran, kesabaran dan sungguh-sungguh. Semua yang dilakukan guna manunggal dengan Hyang Widi tidak instan, melainkan butuh proses. Ki Ketib menanyakan bagaimana bisa Ki Besi dapat kawin atau menyatu dengan Hyang Widi sehingga menjadi sakti. Ki Besi menjawab bahwa Allah yang menggerakkan kemauan dalam hati. Lalu Ki Ketib bertanya tentang apakah mas kawinnya sehingga dpat menyatu. Ki Besi menjawab bahwa mas kawinnya yang sebenarnya adalah rasa sejati. Barang siapa mampu melihat dan mendengar, mampu berpikir dan bergerak, mampu merasakan adanya Tuhan, itulah makna manunggal. Masih belum puas dan semakin penasaran terus, Ki Ketib bertanya lagi tentang bagaimana perwujudan Tuhan. Ki Besipun menjawab bahwa manusia hidup di dunia ini disinggahi api, air, angin, dan tanah yang disebut jagad dan seisinya. Perwujudan Tuhan dapat terlihat dari terangnya cahaya matahari dan dinginnya angin. Ketika kau merasakan itu berarti kau telah menyatu dengan Tuhan dengan kesadaran dan rasa sejati.
Kemanunggalan manusia dalam Serat Suluk Kyai Besi dijelaskan dengan penyatuan diri manusia dengan alam. Alam merupakan perwujudan dari Tuhan. Alam tersusun atas empat unsur yaitu api, tanah, angin, dan air. Api melambangkan keagungan Tuhan, air melambangkan ilmu, angin adalah lambang kekuatan, dan tanah adalah lambang kebijasanaan. Dalam keadaan tersebut, manusia merupakan manifestasi Tuhan. Manusai dan Tuhan selalu berkaitan satu sama lain.
Kesimpulan
            Serat Suluk Kyai Besi mengandung beberapa unsur religi antara lain laku, sangkan paran, sasmita, manunggal, dan ngelmu. Unsur tersebut ditunjukkan melalui tokoh dan peristiwa. Konsep laku  yang terdapat dalam Suluk Kyai Besi merupakan tahapan laku syariat, yaitu tataran laku yang paling awal berisi tentang bagaimana manusai menghargai gurunya, di mana guru merupakan perwujudan wakil Tuhan. Laku pada Suluk Kyai Besi digambarkan oleh tokoh Ki Besi yang sedang bertapa dan hanya meminum arak setiap harinya. Hal tersebut dilakukan karena ia mengikuti perintah dari gurunya. Aspek yang muncul selnjutnya yaitu sangkan paran, di mana digambarkan oleh tokoh Ki Ketib yang memahami bahwa apapun yang didapatkan merupakan kemurahan Tuhan, berasal dari Tuhan. Kemudian terdapat konsep tentang sasmita yang digambarkan dengan peristiwa ketika Ki Besi mendapat bisikan yang berisi wejangan dari para Sunan. Bisikan tersebut berisi tentang bagaimana batasan ilmu sejati yaitu bahwa sebutan Allah adalah zat Allah, barang siapa yang berhenti menyebut atau memuja Allah hendaknya diberikan hukuman. Allah itu esa, tidak ada Tuhan yang dua. Konsep manunggal yang dijelaskan pada Suluk Kyai Besi digambarkan melalui pertanyaan Ki Ketib kepada Ki Besi yang ingin tahu bagaimana Ki Besi bisa sakti. Ki Besi menjelaskan bahwa semua itu karena usaha dengan niat sungguh0sungguh dan didasari dengan kesadaran. Dari proses tersebut kemudian terjadilah manunggal atau menyatu antara Ki Besi dengan Hyang Widi. Penjelasan Ki Besi mengenai perwujudan Tuhan dilambangkan melalui wujud api, air, angin, dan tanah. Wujud api melambangkan keagungan Tuhan, air melambangkan ilmu, angin adalah lambang kekuatan, dan tanah adalah lambang kebijasanaan. Terkahir adalah konsep ngelmu yang digambarkan ketika Ki Pangulu dan Ki Ketib berguru kepada Ki Besi. Mereka memperoleh pengetahuan mengenai kehidupan yang sepatutnya dijalankan manusia.


Daftar Pustaka
Baried, Siti Baroroh. 1985. Pengantar Teori Filologi. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Geertz, Clifford. 1981. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarkat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya
Iman Budi Santosa, Laku Prihatin: Investasi Menuju Sukses Ala Manusia Jawa, Yogyakarta: Memayu Publishing, 2011.
Jong, S. de. 1985. Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa. Yogyakarta: Hanindita.
Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Ratna, Nyoman Kuta. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Belajar
Sasangka, Damar. 2014. Induk Ilmu Kejawen : Wirid Hidayat Jati. Singasari: Dolphin.
Suseno, Franz Magnis. 1984. Etika Jawa. Jakarta: Gramedia.