Abstrak
Penulisan
ini menggunakan naskah berjudul Suluk
Kyai Besi sebagai objek penelitian. Naskah tersebut merupakan koleksi
perpustakaan Universitas Indonesia. Penulisan ini merupakan syarat untuk
memenuhi tugas akhir mata kuliah religi Jawa. Bahasan pada penulisan ini
terkait dengan analisis aspek-aspek religi Jawa yang terdapat pada serat Suluk Kyai Besi. Serat tersebut
dituliskan dalam bentuk macapat yang terdiri dari sembilan pupuh yaitu I. Dhandhanggula,
II. Sinom, III. Maskumambang, IV. Dhandhanggula, V. Sinom, VI. Maskumambang,
VII. Sinom, VIII. Mijil, IX. Kinanthi. Beberapa pupuh tersebut berisi tentang
aspek religi antara lain laku, sangkan paran, sasmita, manunggal, dan ngelmu. Dari penjabran tersebut
ditemukan rumusan masalah yaitu bagaimana aspek-aspek religi yang dijalankan
dalam naskah Suluk Kyai Besi yang dianalisis berdasarkan
tokoh pada cerita. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan
bagaimana aspek religi yang yang
dijalankan berdasarkan analisis tokoh yang terdapat pada naskah Kyai Suluk Besi. Adapun
metode penulisan ini
menggunakan metode analisis deskriptif.
Kata kunci: laku,
ngelmu,religi Jawa, sangkan paran, suluk.
Pendahuluan
Budaya merupakan suatu cara yang dijalankan oleh
sekelompok masyarkat untuk perkembangan kehidupannya. Menurut Koentjaraningrat
(1984) kebudayaan merupakan keseluruhan sautu sistem gagasan, tindakan, serta
hasil karya manusia dalam kehidupan. Beliau juga membagi 7 unsur kebudayaan
yaitu bahasa, sistem pengetahuan, sistem kemasyarkatan atau organisasi sosial,
sistem teknologi atau peralatan hidup, sistem mata pencaharian hidup, sistem
religi, dan sistem kesenian. Salah satu unsur kebudayaan yang disebutkan yaitu
religi. Menurut etimologi, religi berasal dari akta ‘re’ yang berarti kembali
dan ‘lagore’ yang berarti mempersatukan. Jika dijabarkan religi yaitu proses
mempersatukan kembali jiwa manusia dengan Tuhan.
Jika berbicara tentang religi, masyarakat Jawa merupakan
salah satu masyarakat yang masih kental akan penerapan religinya. Mereka
menerapkan konsep religi tersebut dalam laku
yang dijalankan dalam kehidupan sehari-hari. Laku dijalankan atas dasar kesadaran dan niat yang sungguh-sungguh
guna menyeimbangkan kehidupan untuk mencapai kesempurnaan hidup. Untuk
mengetahui bagaimana masyarkat Jawa menereapkan religi pada zaman dahulu dapat dilihat
dari naskah.
Naskah merupakan suatu media masyarakat dulu untuk
menuliskan karya. Karya-karya tersebut dapat mengandung ajaran moral, sejarah,
informasi-informasi yangada pada zaman tersebut, maupun keagamaan. Naskah
dikelompokkan menjadi beberapa golongan di antaranya naskah golongan religi dan
etika, naskah-naskakh yang mengandung unsur-unsur keagamaan, ramalan, suluk,
mauoun piwulang, naskah yang berisi sejarah dan mitologi, dan naskah berisi hukum,
folklor, kesenian, dan kemanusiaan.
Berkaitan dengan naskah golongan religi, penulisan ini
menggunakan objek penelitian naskah yang berjudul Suluk Kyai Besi koleksi perpustakaan Universitas Indonesia. Naskah
ini telah digunakan sebagai objek penelitian filologi oleh Agustina tahun 1994
dengan judul Suntingan Teks Serat Suluk
Kyai BesI No. 126 dan Analisis Ajaran Mistik Kejawen. Pada penelitian
tersebut hanya terdapat suntingan dan ringkasan mengenai isi naskah, namun
belom ada penggarapan analisis khusus mengenai konsep religi yang dijalankan
terkait masyarakat Jawa. Naskah Suluk
Kyai Besi memuat beberapa aspek-aspek religi diantaranya yaitu konsep laku, sangkan paran, sasmita, manunggal, dan ngelmu.
Berdasarkan urain di atas ditemukan rumusan masalah yaitu
bagaimana aspek-aspek religi yang dijalankan dalam naskah Suluk Kyai Besi yang
dianalisis berdasarkan tokoh pada cerita. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk menjelaskan bagaimana aspek religi yang yang dijalankan berdasarkan analisis tokoh
yang terdapat pada naskah Kyai Suluk Besi.
Adapun
metode penulisan ini
menggunakan metode analisis deskriptif. Metode analisis deskriptif dimulai
dengan mencari dan menemukan fakta-fakta yang terdapat dalam objek penelitian
dan kemudian dilakukan analisis (Ratna, 2004). Metode deskriptif melakukan deskripsi
data dan berbagai hal yang terkandung di dalam objek penelitian dan kemudian
menginterpretasikannya secara rasional.
Pembahasan
Dalam
serat Suluk Kyai Besi ini terdapat
beberapa peristiwa yang dapat digunakan sebagai data untuk menganalisis
aspek-aspek religi Jawa. Aspek yang terkandung dalam serat Suluk Kyai Besi antara lain adalah laku, sangkan paran, sasmita, manunggal,
dan ngelmu.
Aspek pertama adalah laku.
Laku yang dijalankan pada peristiwa ini adalah laku tapa. Bagi masyarakat Jawa, tapa merupakan sarana jalan hidup
untuk menggapai anugrah Tuhan yang disebut wahyu. Bertapa yakni berusaha untuk
menjauhkan dan mengendalikan diri dari nafsu-nafsu yang dapat berpengaruh
negatif dalam diri manusia. Bertapapun sangat bermacam-macam caranya, misalnya
tapa bisu, tapa untuk tidak makan dan minum atau disebut berpuasa, tapa
ditempat yang sepi tidak terjamah orang untuk meningkatkan fokus tujuan, dan
masih banyak lagi cara bertapa. Manusia melakukan tapa untuk mencapai sesuatu
yang dituju atau yang diinginkan. Segala bentuk tapa yang dilakukan semata-mata
bertujuan untuk kesempurnaan batin. Pada Serat
Suluk Kyai Besi diceritakan melalui tokoh bernama Ki Besi yang sedang
melakukan laku tapa. Penjelasan
tersebut dapat dilihat pada pupuh 1 Dandanggula yang terdiri dari 10 bait yang
kemudian diringkas sebagai berikut.
Alkisah ada seorang pertapa bernama Kyai Besi. Ia sangat
menahan hati, menahan diri dari nafsu-nafsunya. Ia sedang bertapa dengan hanya
duduk di tepi sebuah samudra, berdiam di lereng dan berlindung ditepi jurang
dan hanya ditemani hidangan arak serta gelas disekitarnya. Ia tidak makan,
melainkan hanya minum arak setiap harinya. Hal tersebut dilakukan karena
perintah gurunya yang hanya membolehkan minum arak untuk bertapa. Ia
menjalankan tapa tersebut dengan bersungguh-sungguh mengikuti perintah gurunya.
Ringkasan pupuh Dhandhanggula pada Serat Suluk Kyai Besi di atas menggambarkan bahwa Ki Besi sedang
menjalankan tapa. Dia hanya meminum arak tanpa memakan apapun, hal tersebut
dilakukan atas perintah gurunya dan ia melakukannya dengan bersungguh-sungguh.
Hal tersebut juga menunjukkan laku
syariat, di mana pengertian dari laku syariat yaitu manusia harus melakukan
segala hal yang diperintahkan dan meninggalkan hal-hal yang dilarang oleh
Tuhan. Pada tataran syariat manusia hendak menghormati dan hidup seseuai dengan
hukum agama, menjalankan kewajibannya dengan sungguh-sungguh, menghargai dan
menghormati orang tua, guru pemimpin, raja supaya terjalin keseimbangan
kehidupannya. Dengan manusia menghormati orang tua, guru, pemimpin, dan raja
berarti manusia menghormati Tuhannya. Manusia dalam melakukan perintah Tuhan
harus dengan bersungguh-sungguh tidak boleh setengah-setengah.
Aspek religi selanjutnya yaitu Sangkan Paraning Dumadi. Konsep tersebut sudah tidak asing lagi
bagi masyarakat Jawa. Filosofi Sangkan
Paraning Dumadi menumbuhkan kesadaran kita sebagai manusia dari mana kita
berasa dan ke mana nantinya kita akan hidup kekal. Dengan memahami konsep
tersebut, apapun yang diperoleh manusia merupakan pemberian Tuhan, asalnya dari
Tuhan. Sebagai seorang manusia tidka boleh sombong akan hal yang telah
diperolehnya akrena itu semata-mata hanya sebuah titipan dari Tuhan, manusia
hanya berusaha sesuai dengan kemampuannya. Pada Serat Suluk Kyai Besi terapat suatu peristiwa yang menggambarkan
konsep Sangkan Paraning Dumadi.
Konsep tersebut dapat dilihat dari tokoh Ki Ketib, namun pemaknaan tentang sangkan paran tersebut bergeser.
Peristiwa tersebut terdapat pada pupuh IV Dhandanggula yang terdiri dari 41
bait.
Menurut Ki Ketib (adik pengulu) untuk mendapatkan
kemurahan Tuhan harus disertai ikhtiar. Kemudian orang tua berkata, bahwa yang
dinamakan kemurahan Tuhan itu akan datang dengan sendirinya. Setelah orang tua
itu berkata demikian, Ki Ketib ingin membuktikan adanya kemurahan Tuhan. Dia sejenak
berhenti di tempat tersebut. Kemudian ada saudagar yang membawa dagangan dengan
mengendarai sapi. Sapi tersebut tiba-tiba memberontak loncat-loncat sehingga
barang dagangan saudagar tersebut jatuh berceceran. Melihat kejadian itu, Ki
Ketib menganggapnya sebagai kemurahan Tuhan, lalu ia berniat akan mengambil
barang-barang yang berceceran tersebut tetapi ia ingat bahwa kemurahan Tuhan
itu datang dengan sendirinya bukan dengan ikhtiar. Ia berfikir bahwa mengambil
adalah salah satu bentuk tindakan ikhtiar, sehingga kejadian tersebut belum
belum dikatakan sebagai bentuk kemurahan Tuhan.
Peristiwa di atas menggambarkan bahwa Ki Ketib
mempercayai adanya kemurahan Tuhan, dan itu datangnya dari Tuhan. Hal tersebut
adalah gambaran dari konsep Sangkan
Paraning Dumadi, di mana segala hal yang didapatkan manusia berasal dari Tuhan. Namun
penafsiran yang diberikan oleh orang tua itu menjadi salah oleh Ki Ketib. Ki
Ketib hanya menunggu makanan tersebut datang kepadanya dengan sendirinya tanpa
ia harus berusaha untuk mengambil dengan berjalan atau dengan usahanya. Ada
benarnya memang Ki Ketib memahami tentang sangkan
paran, namun ia tidak menyadari bahwa untuk mendapatkan sesuatu dari Tuhan
hendaknya dengan usaha atau ikhtiar.
Aspek religi selanjutnya yang terdapat pada Serat Suluk Kyai Besi yaitu mengenai
sasmita. Sasmita merupakan sistem nilai budaya Jawa yang tidak dapat dipisahkan
dari kehidupan masyarakat Jawa. Manusia memperoleh sasmita dari Tuhan dalam
berbagai bentuk antara lain weca, wisik, dan
wangsit. Weca ialah tanda-tanda yang diberikan Tuhan kepada manusia terpilih
berupa suara ghaib di balik suatu benda. Kemudian wisik yaitu tanda-tanda yang diberikan Tuhan kepada manusia
terpilih melalui bisikan. Sedangkan wangsit
ialah tanda-tanda yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia terpilih melalui
sebuah mimpi. Sasmita diberikan kepada manusai yang terpilih, dalam artian
ketika manusai tersebut telah melakukan laku
atau tirakat dengan sungguh-sungguh
dan pener. Fungsi diturunkannya
sasmita kepada manusia yaitu agar tanda-tanda tersebut dapat dimengerti sebagai
petunjuk Tuhan dan dijalankan sebagaimana mestinya untuk mencapai keseimbangan
hidup. Sasmita yang terdapat pada Serat
Suluk Kyai Besi dapat ditunjukkan pada pupuh VI Maskumambang dengan
ringkasan peristiwa berikut.
Tiba-tiba Ki Pangulu mendapat bisikan berupa wejangan dari Sunan Bonang,
Sunan Giri, Sunan Ampel Gading, dan Sunan Geseng. Bisikan para sunan tersebut
berupa ajaran, yang isinya tentang bagaimana batasan ilmu sejati yaitu bahwa
sebutan Allah adalah zat Allah, barang siapa yang berhenti menyebut atau memuja
Allah hendaknya diberikan hukuman. Allah itu esa, tidak ada Tuhan yang dua.
Setelah mendapatkan bisikan yang berupa wejangan dari para Sunan tersebut, Ki
Pangulu merasa hatinya semakin tenang, damai,dan nyaman.
Peristiwa tersebut menjelaskan bahwa Ki Pangulu mendapat
sasmita berupa wisik yang berisi wejangan atau petuah dari Sunan Bonang,
Sunan Ampel Gading, dan Sunan Geseng. Bisikan yang diperoleh Ki Pangulu
tersebut berupa ajaran, yang kemudian menjadi darma atau tanggung jawab Ki
Pangulu untuk menerapkan bahkan menyebarkan ajaran tersebut guna mencapai
keseimbangan hidup.
Peristiwa selanjutnya menggambarkan tentang ngelmu. Ngelmu merupakan kesadaran dan
pemahaman manusia tentang kehidupannya dalam hubungannya dengan manusia yang
lain, alam, dan Tuhan. Orientasi
pencapaian ngelmu atau pengetahuan tentang kehidupan
berlandaskan pada daya-daya batin berupa rohani dan rasa serta kesadaran akan
jalan ketuhanan. Ngelmu akan
menghasilkan sebuah pengetahuan tentang kehidupan. Wadah yang diperlukan dalam
hal pencapaian pengetahuan tentang kehidupan tersebut adalah kalbu atau hati.
Kalbu dilatih secara terus-menerus agar menjadi cerdas dan tanggap dalam
memahami tanda-tanda atau sasmita di dalam kehidupan manusia. Proses pencapaian
pengetahuan tentang kehidupan tersebut di awali dengan niat yang
sungguh-sungguh, dijalankan dengan kesadaran yang mendalam. Peristiwa yang
ditunjukkan dalam Serat Suluk Kyai Besi
mengenai ngelmu terdapat pada pupuh II
Sinom dan pupuh VII Sinom.
Pupuh II Sinom:
Ki Ketib yang sedang mencari kakaknya karena tidak pulang
selama beberapa hari kemudian menemuinya di tempat pertapaan. Ia melihat juga
Ki Besi dan kakaknya sedang berbincang. Ki Ketib menanyakan banyak hal mengapa
kakaknya tidk pulang dan memilih tinggal di tempat pertapaan itu. Kemudian Ki
Pangulu menjelaskan bahwa ia sedang berguru dengan Ki Besi. Ki Besi mengajarkan
banyak hal tentang kehidupan guna kesempuranaan hidup.mKemudian Ki Ketib
melontarkan pertanyaan-pertanyaan kepad Ki Besi dan Ki Besi dapat menjawabnya.
Ki Ketib masih belum puas dengan jawaban Ki Besi yang kemudian berujung
perdebatan. Sementara it Ki Pangulu memperingatkan adiknya untuk berhenti
berdebat dan menyarankannya untuk ikut berguru juga kepada Ki Besi.
Pupuh VII Sinom:
Ki Pangulu menghadap Ki Besi di tengah laut. Ia terus
menerus menanyakan tentang ngelmu
kepada Ki Besi. Pertanaan yang dilontarkan antara lain, “Pulau apa ini di
tengah laut?”, “Mengapa samudera agung ketika pasang airnya melimpah?”,
“Aapakah dalam jasad sama dengan isi jagad?”. Pertanyaan yang dilontarkan oleh
Ki Pangulu dijawab dengan jelas oleh Ki Besi. Kyai Besi juga menjelaskan
beberapa hal terkait dengan kehidupan sangkan
paran. Ia menjelaskan kepada Ki Pangulu demikian.
Hanya dengan sarana pencarian ke dalam dirinya sendiri,
manusia akan mengetahui kenyataan dirinya dan mengetahui bahwa dirinya itu
tidak hanya sama keadaannya dengan benda lainnya yang ada di dunia, tetapi juga
sama dengan keadaan wujud kodrat dunia yaitu kodrat pergerakan. Hanya ada satu cara
yang dapat dilakukan dengan sungguh-sungguh dalam pencarian, yaitu diriku
sendiri. Kalau hal itu sudah dimengerti dengan sungguh-sungguh, manusia baru
dapat mengetahui kodrat dunia. Nah, itulah awal aku akan memulai perincian
wujud manusia dan lama kelamaan aku akan menuntun engkau sampai pada tempat
suci, yang bertempat di dalam hati setiap orang.
Aspek berikutnya yaitu tentang manunggaling kawula Gusti. Kemanunggalan dapat dikatakan sebagai
perkawinan antara jasad dan roh, antara hamba dengan Tuhannya. Keadaan
manunggal merupakan tujuan utama bagi pribadi manusia yang mengupayakan
kehidupan ini menjadi tentram dan sempurna. Untuk mencapai kemanunggalan juga
disertai usaha-usaha laku syariat, tarekat, hakekat, dan makrifat. Aspek manunggaling kawula Gusti dapat
ditunjukkan pada peristiwa berikut.
Ketika Ki Besi menjawab pertanyan yang dilontarkan Ki
Ketib, di situ ia menjelaskan bagaimana sesungguhnya kehidupan dan tujuan
manusia. Ia bercerita bagaimana bisa dirinya menjadi sakti, mempunyai
kelebihan. Semua yang dilakukan diawali dengan niat yang serius, dilandnasi
kesadaran, kesabaran dan sungguh-sungguh. Semua yang dilakukan guna manunggal dengan Hyang Widi tidak
instan, melainkan butuh proses. Ki Ketib menanyakan bagaimana bisa Ki Besi
dapat kawin atau menyatu dengan Hyang
Widi sehingga menjadi sakti. Ki Besi menjawab bahwa Allah yang menggerakkan
kemauan dalam hati. Lalu Ki Ketib bertanya tentang apakah mas kawinnya sehingga
dpat menyatu. Ki Besi menjawab bahwa mas kawinnya yang sebenarnya adalah rasa
sejati. Barang siapa mampu melihat dan mendengar, mampu berpikir dan bergerak,
mampu merasakan adanya Tuhan, itulah makna manunggal. Masih belum puas dan
semakin penasaran terus, Ki Ketib bertanya lagi tentang bagaimana perwujudan
Tuhan. Ki Besipun menjawab bahwa manusia hidup di dunia ini disinggahi api,
air, angin, dan tanah yang disebut jagad dan seisinya. Perwujudan Tuhan dapat
terlihat dari terangnya cahaya matahari dan dinginnya angin. Ketika kau
merasakan itu berarti kau telah menyatu dengan Tuhan dengan kesadaran dan rasa
sejati.
Kemanunggalan manusia dalam Serat Suluk Kyai Besi dijelaskan dengan penyatuan diri manusia
dengan alam. Alam merupakan perwujudan dari Tuhan. Alam tersusun atas empat
unsur yaitu api, tanah, angin, dan air. Api melambangkan keagungan Tuhan, air
melambangkan ilmu, angin adalah lambang kekuatan, dan tanah adalah lambang
kebijasanaan. Dalam keadaan tersebut, manusia merupakan manifestasi Tuhan.
Manusai dan Tuhan selalu berkaitan satu sama lain.
Kesimpulan
Serat Suluk Kyai Besi mengandung beberapa unsur religi antara lain laku, sangkan paran, sasmita, manunggal, dan ngelmu. Unsur tersebut ditunjukkan melalui tokoh dan peristiwa.
Konsep laku yang terdapat dalam Suluk Kyai Besi merupakan tahapan laku syariat, yaitu tataran laku
yang paling awal berisi tentang bagaimana manusai menghargai gurunya, di mana
guru merupakan perwujudan wakil Tuhan. Laku pada Suluk Kyai Besi digambarkan oleh tokoh Ki Besi yang sedang bertapa
dan hanya meminum arak setiap harinya. Hal tersebut dilakukan karena ia
mengikuti perintah dari gurunya. Aspek yang muncul selnjutnya yaitu sangkan paran, di mana digambarkan oleh
tokoh Ki Ketib yang memahami bahwa apapun yang didapatkan merupakan kemurahan
Tuhan, berasal dari Tuhan. Kemudian terdapat konsep tentang sasmita yang digambarkan dengan
peristiwa ketika Ki Besi mendapat bisikan yang berisi wejangan dari para Sunan.
Bisikan tersebut berisi tentang bagaimana batasan ilmu sejati yaitu bahwa
sebutan Allah adalah zat Allah, barang siapa yang berhenti menyebut atau memuja
Allah hendaknya diberikan hukuman. Allah itu esa, tidak ada Tuhan yang dua.
Konsep manunggal yang dijelaskan pada
Suluk Kyai Besi digambarkan melalui
pertanyaan Ki Ketib kepada Ki Besi yang ingin tahu bagaimana Ki Besi bisa
sakti. Ki Besi menjelaskan bahwa semua itu karena usaha dengan niat
sungguh0sungguh dan didasari dengan kesadaran. Dari proses tersebut kemudian
terjadilah manunggal atau menyatu
antara Ki Besi dengan Hyang Widi. Penjelasan Ki Besi mengenai perwujudan Tuhan
dilambangkan melalui wujud api, air, angin, dan tanah. Wujud api melambangkan
keagungan Tuhan, air melambangkan ilmu, angin adalah lambang kekuatan, dan
tanah adalah lambang kebijasanaan. Terkahir adalah konsep ngelmu yang digambarkan ketika Ki Pangulu dan Ki Ketib berguru
kepada Ki Besi. Mereka memperoleh pengetahuan mengenai kehidupan yang
sepatutnya dijalankan manusia.
Daftar Pustaka
Baried, Siti
Baroroh. 1985. Pengantar Teori Filologi.
Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Geertz, Clifford.
1981. Abangan, Santri, Priyayi dalam
Masyarkat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya
Iman Budi Santosa, Laku Prihatin: Investasi Menuju Sukses Ala Manusia Jawa, Yogyakarta:
Memayu
Publishing, 2011.
Jong, S. de. 1985. Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa. Yogyakarta:
Hanindita.
Koentjaraningrat.
1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai
Pustaka.
Ratna, Nyoman Kuta. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka
Belajar
Sasangka, Damar.
2014. Induk Ilmu Kejawen : Wirid Hidayat Jati. Singasari: Dolphin.
Suseno, Franz
Magnis. 1984. Etika Jawa. Jakarta:
Gramedia.